Tuesday, October 16, 2007

PEREMPUAN ITU


Perth, 8 Juli 2007

Di wajah perempuan itu, nampak guratan kecantikan, meski kerutan ketuaan tak bisa disembunyikan. Perempuan itu, usianya tujuh puluhan tahun lebih. Tidak jelas memang, karena di masa itu, tidak ada dokumentasi yang pasti tentang proses kelahirannya. Jangankan direkam dengan video atau photo digital, dicatat pun mungkin tidak. Di KTP memang ada tahun kelahirannya, tetapi itu tidak cukup meyakinkan bagi pembacanya.

Di balik kerudungnya yang tidak terlalu rapat, nampak juluran rambutnya yang hampir semua memutih. Perempuan itu, nampak begitu bersemangat, walaupun usianya merangkak senja. Dia memang tidak pernah mau ketinggalan untuk selalu berjamaah di masjid sebelah rumahnya yang hanya terpaut bangunan balai desa. Di kegelapan isya’, di keremangan maghrib, dalam dinginnya subuh, pada teriknya dzuhur, dan saat kesibukan ashar, perempuan itu berusaha sedapat mungkin hadir. Biasanya, dia jalan kaki dengan memakai mukena yang dikenakan setengah badan, sembari mengalungkan sajadahnya berangkat jamaah.Namun, akhir-akhir ini, perempuan itu nampak dibonceng sepeda motor Astrea Supra oleh anak lelakinya yang bungsu, sekedar untuk sholat jamaah. Dia bilang badannya mulai sering lemas dan penglihatannya berangsur-angsur kabur. Mungkin, orang seusia perempuan itu memang lebih sulit untuk membendung berbagai penyakit yang datang. Fungsi antibodinya sudah tidak secanggih sebelumnya.

Perempuan itu, tak pernah mengikuti kegiatan PKK atau Dharma wanita. Memang, dia bukan istri PNS atau pamong praja. Dia lebih suka ikut pengajian-pengajian di lingkungan sekitar. Perempuan itu, sering didaulat menjadi pimpinan pengajian di desa tersebut. Yang agak aneh bagi tetangganya, dia selalu datang bersama dengan menantunya yang ketiga. Selalu duduk berdampingan dengan istri anaknya. Akur banget.

Sehabis sholat subuh berjamaah, perempuan itu selalu mengaji alquran dengan keras di ruang tamu. Sangat lama. Orang yang tidak biasa, pasti kegiatan itu terasa melelahkan dan membosankan. Namun, tidak bagi perempuan itu. Suaranya lantang. Cara membacanya relatif cepat setengah hafal. Kefasihannya dalam melafalkan makharijul huruf, menunjukkan kecerdasan perempuan itu. Hal itu, dilakukannya setiap hari, tidak pernah absen. Kegiatan yang sama, selalu dilakukan setiap habis sholat maghrib sambil menunggu isya’ menjelang.Anaknya bercerita, bahwa perempuan itu tidak pernah lekang sholat malam. Sholat tahajud dan sholat sunah lainnya hampir menjadi rutinitasnya. Tengah malam menjelang subuh, dia sudah terbangun karena katanya tidak bisa tidur lagi. Mungkin begitulah “body clock” orang tua. Saat orang lain terlelap dalam mimpi indah dan basah, perempuan itu bermunajat kepada Sang Pencipta.

Beberapa waktu yang lalu, perempuan ini didiagnosis oleh dokter puskesmas kecamatan menderita maag yang cukup akut. Boleh jadi, salah satu penyebabnya karena dia selalu puasa senin kamis, puasa syawal, puasa sunah di bulan rajab, dan tentu saja, puasa ramadhan saat sehat tak terlewatkan.

Konon, perempuan itu pernah menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi melalui Depnaker selama dua tahun di saat usianya nyaris setengah abad. Ya, di tahun 1985 dia nekat merantau ke negeri orang karena usaha suaminya sebagai penyalur listrik tenaga diesel (PLTD) harus gulung tikar. Listrik sudah mulai masuk desa itu . Padahal, kala itu, belum ada satu pun wanita yang menjadi TKW di desanya. Terlebih, masih banyak suara miring tentang profesi itu. Kalau sekarang, makin banyak saja TKW ke Arab Saudi, Malaysia, Brunei, Hongkong, Taiwan, bahkan ke Amerika Serikat. Sebelumnya, perempuan itu adalah seorang wiraswastawati sukses di desa tersebut. Dia memiliki usaha konveksi konvensional dengan berpuluh tenaga kerja. Dia sangat ulet mengelola bisnisnya sambil mengasuh lima orang anak. Dia mendidik gadis-gadis di sekitarnya untuk belajar menjahit dan menjadi pegawainya. Di antara mereka, ada yang bisa mandiri, ada juga yang tidak. Namun, dengan datangnya persaingan mesin-mesin konveksi yang lebih modern dan beragam di kota besar, akhirnya, usaha perempuan itu menurun drastis dan terhenti.

Perempuan itu, anak pertama dari lima bersaudara. Berasal dari keluarga sederhana, tetapi dinikahi oleh anak orang kaya di wilayah tersebut. Dia tidak tamat Sekolah Rakyat (SR), hanya menyelesaikan sekolah sampai kelas 4. Dia tidak lulus SR, tetapi mampu menulis surat dengan bahasa dan kalimat yang tersusun rapi. Kepada anaknya, dia tidak pernah menyuruh, apalagi memaksa untuk belajar. Dia hanya selalu berpesan, agar tidak lupa untuk membaca alquran meskipun cuma satu lembar. “Biar sedikit, yang penting istiqomah” ujarnya.

Perempuan itu, juga selalu menasihati anaknya, agar tidak lupa membaca fatihah atau sholawat di mana saja, terlebih dalam perjalanan.Perempuan itu, seandainya saja melanjutkan sekolah, mungkin bisa menjadi Kepala Kanwil seperti Dra. Hj. Sri Warningsih, Ibu Dra. Rosari Arwati, atau Ibu Dra. Ni Luh Putu Kumalawati, MA. Meskipun tidak tamat SD, dia bisa mengirim dengan tepat buku pesanan anaknya melalui telepon. “Mak, minta tolong dikirimkan buku “Ekonomi Moneter” yang bersampul merah, di rak buku samping tempat tidur” pinta anaknya lewat wartel. Dia, dengan tepat mengirimkan buku itu.

Perempuan itu, tak pernah membaca buku manajemen dan buku “self help”. Namun, dia dapat meyakinkan anaknya saat minta doa restu. “Mak, nyuwun tambahipun donga pangestu, nggih. Saya ingin bisa sekolah lagi ke luar negeri. Bisa, tidak ya, Mak?” Dia menjawab mantap sambil tersenyum, “Wis to Le, iso iso awakmu sekolah nyang luar negeri”.Perempuan itu, yang mengajari anaknya tentang hidup. “Mak, saya dapat tawaran di kantor swasta, gajinya 6 juta per bulan. Gaji dan TC di Depkeu 2 juta per bulan. Ingkang putro dipastikan langsung diterima. Boleh tidak, kalau keluar dari Depkeu?” anaknya berkonsultasi. Perempuan itu menjawab dengan tegas, “ Ojo sampe’ awakmu metu soko Depkeu. Jadi pegawe negri ngono ora gampang. Kowe wis beruntung. Wis to, ojo kuwatir. Penak-penak, uripmu mbesuk. Nuruto Emak. Percoyo-o karo Emak”, ujar perempuan itu dengan optimis.

Perempuan itu, yang lari lintang pukang ke sana ke mari bagi kesembuhan anaknya. Persis seperti Siti Hajar mencarikan air buat Ismail yang kehausan. Tak lelah mencarikan obat, saat anaknya sakit. Mengusahakan ke dokter, mengantar ke dokter spesialis yang harganya melangit, membawa ke pengobatan alternatif, bahkan pergi ke dukun komat-kamit demi anak tercintanya. Suatu saat, dia nyaris pingsan di depan pasar dan dikerubuti orang karena kelelahan tak tahu harus bagaimana agar anaknya pulih seperti sedia kala.

Perempuan itu, mungkin tidak terlalu paham KKN. Kendati demikian, dia dengan amat keras menyatakan,”Emak tidak pernah mengharap pemberian kamu. Emak memang senang, kalau kamu sangoni uang barang lima puluh atau seratus ribu rupiah. Tapi, Emak ora lilo. Emak ora sudi kalau kamu memberi dari uang tidak halal. Tidak barokah. Jangan pernah kasih Emak dari uang begituan. Mending Emak tak usah dikasih apa-apa. Sedikit-sedikit, Emak juga punya uang tabungan dari hasil jualan di toko”.Perempuan itu, nampak getir ketika suatu saat anaknya mempertanyakan,”Mak, kenapa dulu Emak menyuruh anaknya memilih kuliah di prodip/STAN, meskipun juga diterima di Kedokteran Umum Unair?”. “Nganggo duwit opo to Le, nggo biaya sekolah dokter. Sekolah dokter ngono larang, mending pilih prodip/STAN sing ora mbayar, langsung oleh kerjo,”paparnya.

Perempuan itu, begitu tegar. Ketika para tetangga menanyakan kabar anaknya,” Bulek, wah..enak ya, putranya kerja di Depkeu. Pasti uangnya banyak banget. Dikirimi duwit terus.” “Yo, alhamdulillah, pendongane wae…”jawabnya enteng.

Perempuan itu, mengajari anaknya realistis. “Sudahlah, jangan banyak berpikir yang jauh-jauh. Nikmati saja kehidupanmu hari per hari. Hari ini mau ngapain, hari ini mau makan apa, hari ini mau ke mana. Begitu saja. Gusti Alloh wis ngerti. Gusti Alloh wis weruh sing apik kanggo awakmu”, nasihatnya pada sebuah kesempatan.

Perempuan itu, berani berijtihad dengan niat baiknya. Ada cita rasa feodal, tetapi tetap demokratis. Dia, telah membagi warisan untuk kelima anaknya, saat dia masih segar bugar. Dikumpulkan seluruh anaknya diajak musyawarah. “Waamruhum syuroo bainahum”. “Dan bermusyawarahlah kalian untuk urusan di antara kalian”. Biar tidak pernah ikut penataran P4, rupanya dia telah melaksanakan sila ke-4 butir ke-1 dari Pancasila yaitu mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. “Anak-anakku, saya tahu, dalam hukum waris Islam (ilmu faroid), hak anak perempuan mendapat bagian setengah dari bagian anak laki-laki. Namun, saya akan membagi waris sama rata, tapi tidak sama rasa (he he he..mbanyol). Untuk bagian saya sendiri, kalau saya meninggal, akan saya berikan kepada Khozin, si ragil. Buat anak laki-laki, anggap saja bagian yang kurang itu, sebagai hibah untuk saudara perempuan kalian. Buat anak-anak perempuan, ucapkan terima kasih dan doakan buat saudaralaki-laki kalian atas keikhlasan mereka. Satu lagi, rumah peninggalan jangan dipugar sebelum saya tiada.” cetusnya. “Bagaimana Mbak Hanik, ada pendapat?” tanya dia kepada putri pertamanya. Hafidzah yang perasa dan takut dosa itu, hanya terdiam. “Coba Mbak Tatik, bagaimana menurut kamu?” dia mencari keyakinan pada putri keduanya. Anak kedua yang rajin dan penurut itu, tak mengeluarkan kata sepatah pun. “Mas Dofir keberatan?” selidiknya kepada putra ke-3. Meski sering berselisih paham, untuk kali ini, pria itu terbungkam. “Sekarang kamu, ada pendapat?” dia tetap mengarahkan pandangannya ke anak tersayangnya, meski dia tahu, anaknya ini bakal sependapat. “Tidak…”jawab anak laki-laki yang kalem dan waktu kecilnya cakep dan imut-imut itu (kata istrinya) agak terputus …”ngeles”…, antara TIDAK SETUJU dengan TIDAK APA-APA…he he he..(lha gimana, alqur’an sudah jelas mengatur, tetapi diberi bagian berapa juga sudah untung. Tidak dibagi pun sudah dapat gaji dari pemerintah. Iyo,to?). Sejurus kemudian, dia langsung mengalihkan perhatian ke anak bontotnya yang masih bujang. “Mengapa, kamu cengar-cengir saja dari tadi, no comment ya?” seloroh perempuan itu.

Perempuan itu, yang setiap minggu saya telepon dari Australia. “Nak, buku kiriman Pak Hari sudah sampai. Judulnya “MUHAMMAD SANG NABI: Sebuah biografi kritis” penulisnya Karel Amstrong. Isinya tentang kisah nabi disertai pendapat orang. Jumlah halamannya, sekitar 409. Bukunya sangat tebal, sampulnya warna putih”. Sampaikan salam saya untuk beliau. Semoga Allah swt. membalas kebaikan beliau dengan berlipat ganda dan dari arah yang tak disangka-sangka. Berterima kasih dan belajarlah kepada beliau”, rentetan nada suaranya mulai terdengar lirih.

Perempuan itu adalah Ibu Kandung saya, Hj. Hasimah. Gusti aloh kang katon. Dia adalah orang yang paling saya cintai sekaligus paling saya takuti di dunia ini. Mencium tangannya, adalah hal yang paling menyejukkan. Berbicara dengannya, adalah kebahagiaan. Sabdanya, merupakan keniscayaan. Ridhonya, adalah ridho Tuhan. Di bawah telapak kakinya, surga saya berada. Doanya, tak pernah putus hingga kini. “Ya Allah, izinkan saya mendampinginya, sebelum Engkau memanggilnya kembali…”.“Allaahummaghfirlii, dzunubii waaliwaalidayyaa…warhamhumaa kamaa robbayaanii soghiiroo”. Amen.

From Perth with love,

Moch. Abdul Kobir
NIP 060082152